Coklat dari Langit
(Sumber: www.dakwatuna.com)
Ayahku sejak SMA sudah aktif berdakwah. Ia bersekolah di sebuah SMA favorit di Jakarta Selatan. Meski masih pelajar, ayahku sudah menjadi murabbi (baca: guru mengaji) bagi teman-teman dan adik kelasnya.
Ada kisah yang menarik yang pernah dialami ayahku pada tahun 1989. Saat duduk di bangku kelas III ayahku dan aktivis dakwah di sekolahnya mengisi liburan tahun baru dengan menyelenggarakan pesantren kilat untuk adik-adik kelasnya. Acara itu dilaksanakan di sebuah villa di Puncak. Selain sebagai panitia ayahku juga menjadi salah satu penyampai materi.
Acara itu diselenggarakan selama tiga hari. Setelah acara itu selesai, salah seorang kakak kelas ayahku yang telah kuliah di sebuah universitas negeri yang berlokasi di selatan Jakarta, mengajak ayahku survey tempat untuk acara Tafakkur Alam fakultasnya ke Cibodas, kaki Gunung Gede.
Dengan pemahaman bahwa pekerjaan survey itu juga adalah bagian dari kerja dakwah yang punya nilai pahala yang tinggi di mata Allah swt., ayahku setuju. Maka, berangkatlah ayahku dengan kakak kelasnya. Karena ingin berbagi kebaikan, ayahku juga mengajak seorang sahabatnya seangkatan di SMA.
Dalam Islam jika dalam perjalan lebih dari satu orang maka harus menunjuk salah satu menjadi amir safar (pemimpin perjalanan). Dengan alasan lebih tua, semua sepakat mengangkat kakak kelas ayahku yang sudah mahasiswa itu menjadi Amir Safar.
Amir Safar mengajak ayahku dan sahabatnya mengumpulkan uang yang mereka miliki untuk membiayai perjalanan. Maka terkumpullah sejumlah uang dari saku mereka. Ternyata hanya cukup untuk bayar angkot ke Pertigaan Cibodas, sarapan bubur untuk bertiga, dan ongkos bis kembali ke Jakarta. Tidak ada ongkos untuk naik ojek atau angkot menuju dan kembali dari lokasi wisata alam ke jalan utama Cianjur-Puncak di Perempatan Cibodas, apalagi untuk membeli makan siang.
Dengan pertimbangan tidak ada waktu lagi untuk survey di lain waktu sementara tanggal acara sudah mepet, dan lokasi pesantren kilat tidak terlalu jauh dari Cibodas, mereka bertiga menguatkan hati untuk tetap melakukan survey. Mereka ingat ayat Al-Quran yang berbunyi intanshurullaha yanshurkum, jika engkau menolong Allah, Allah akan menolong kamu.
Mereka bertiga berencana di pagi hari setelah pesantren kilat usai akan naik angkot sampai ke Pertigaan Cibodas. Di sana mereka sarapan bubur. Seingat mereka di pertigaan Cibodas ada orang berjualan bubur. Setelah itu mereka akan jalan kaki menuju lokasi taman wisata alam Cibodas.
Sayangnya, sesampai di Pertigaan Cibodas tukang bubur yang mereka bayangkan sedang tidak berjualan. Akhirnya dengan perut kosong dan menahan dinginnya udara pagi, mereka menggerakkan kaki menuju taman wisata alam Cibodas. Lumayan jauh dan perjalanan sedikit mendaki.
Air dari langit menitik. Gerimis kecil. Sapuan angin gunung menambah dingin bulir-bulir air yang menerpa ketiga tubuh tim survey tafakur alam yang belum sarapan pagi itu. Setiba di kawasan taman wisata alam Cibodas di samping areal parkir ada pasar kecil tempat warga setempat menjual oleh-oleh. Hasil bumi warga puncak juga dijual di sana. Ada jagung, alpukat, wortel, salak, dan sayur-mayur.
Gerimis dan udara dingin membuat perut yang belum sarapan minta diisi. Karena uang mereka terbatas, ayahku dan kedua temannya sepakat membeli salak. Jadilah mereka sarapan pagi itu dengan masing-masing mendapat beberapa butir buah salak.
Setelah sarapan yang tidak biasa itu, mereka merencanakan tafakur alam akan mengambil base camp di area bumi perkemahan yang ada di kawasan wisata alam Cibodas lalu akan ada acara perjalanan ke kaki Gunung Gede menuju Telaga Biru dan berakhir di Air Terjun Cibeureum.
Hanya saja tim survey dadakan ini punya masalah. Mereka tidak punya uang untuk membeli karcis masuk ke areal wisata alam Cibodas. Mereka berpikir bagaimana bisa sampai kaki Gunung Gede tanpa harus masuk melalui pintu gerbang. Akhirnya mereka sepakat mengambil jalan memutari pagar pintu gerbang taman wisata alam Cibodas menuju tepi desa dan meretas hutan. Mereka menerobos semak, mengikuti bekas aliran air, menaiki tebing, mencari jalan batu yang biasa menjadi track para pendaki menuju Gunung Gede.
Dengan susah payah dan baju basah kuyup bercampur tanah (maklum, mereka tidak pake jaket. Kan ini perjalanan nekat tanpa persiapan), akhirnya mereka sampai ke jalan setapak yang menjadi track pendakian menuju Gunung Gede. Saat itu hari menjelang Zhuhur. Mereka sepakat melanjutkan perjalanan dan menargetkan tiba di air terjun Cibeureum sebelum Ashar.
Sambil berdzikir mengucapkan Allahu Akbar di setiap langkah mereka yang mendaki, ayahku dan dua rekannya berharap mendapat tambahan tenaga. Maklum, energi mereka hanya dari pembakaran beberapa butir salak sih. Ashar mereka tiba di air terjun Cibeureum. Di sana mereka bergegas mengambil wudhu dan melaksanakan shalat zhuhur dan ashar dijamak qashar dengan waktu dita’khir.
Setelah itu mereka beristirahat. Rupanya hari itu tidak banyak orang di sana. Hanya ada mereka bertiga dan rombongan pemuda-pemudi yang terdiri dari tiga lelaki dan dua orang wanita. Wajah mereka jelas menunjukkan bahwa mereka beretnis Cina. Kelima orang itu menikmati panorama air terjun sambil mengunyah wafer coklat. Ayahku berkata kepada kedua temannya, “Emang enak dingin-dingin begini makan coklat. Coklat kan banyak kalorinya.” Kedua temannya hanya bisa tersenyum. Maklum, perut mereka juga sudah mendendangkan laku keroncong berirama lapar. Belum makan siang sih.
Tak lama kemudian rombongan etnis Cina itu beranjak untuk turun kembali ke Cibodas. Ayahku dan kedua temannya masih bertahan di air terjun Cibeureum beberapa saat untuk menghimpun tenaga.
Setelah langit menjadi lebih redup, kabut mulai turun, dingin semakin terasa menusuk tubuh mereka yang tanpa jaket, ayahku dan kedua temannya memutuskan untuk turun. Pulang.
Mereka susuri lagi jalan batu setapak menuju pintu gerbang Cibodas. Belum lama mereka melangkah, tiba-tiba ayahku melihat ada tiga batang coklat tergeletak di batu. Punya siapa? Seingat mereka tidak ada lagi orang selain mereka setelah rombongan pemuda-pemudi etnis Cina. Apakah coklat bertabur kacang mede itu milik mereka yang terjatuh? Seingat ayahku, rombongan itu makan wafer coklat, bukan coklat berkacang mede. Apakah ini coklat dari langit? Seingat ayahku, ia tidak berdoa meminta coklat kepada Allah. Ia hanya berseloroh kepada kedua temannya yang kelaparan. Subhanallah!
Ayahku dan kedua temannya berprasangka baik kepada Allah. Ini pasti coklat kiriman Allah untuk mereka. Mereka pun menyantap coklat itu dengan harapan mendapat energi untuk melawan dingin dan tenaga menapaki jalan turun menuju Pertigaan Cibodas.
Subhanallah, subhanallah, subhanallah! Lafadz dzikir diucapkan oleh ayahku dan kedua temannya di setiap kaki mereka menapaki jalan menurun. Kali ini ucapan subhanallah benar-benar punya makna. Maha Suci Allah. Allah memang benar-benar ada! Ia menolong orang-orang yang berjuang menolong agamanya. Bukankah tujuan survey yang dilakukan ayahku dan kedua orang temannya dalam rangka menyiapkan acara dakwah?
Singkat cerita mereka sampai ke Pertigaan Cibodas. Langit sudah gelap. Maghrib sudah lewat. Hujan turun. Dalam remang menuju gelap mereka menanti bis dari arah Cianjur yang menuju Puncak untuk membawa mereka kembali ke Jakarta. Tapi, hari itu liburan tahun baru. Bis antar kota tidak ada yang melintas. Semua bis dari antar kota yang menuju Jakarta dialihkan dari Cianjur menuju Sukabumi-Ciawi langsung ke Tol Jagorawi. Jadi, mustahil ayahku dan kedua temannya mendapat bis.
Mereka pun menyusuri jalan ke arah menuju Puncak sambil sekali-kali mengacungkan tangan ke mobil pribadi berplat B untuk minta tumpangan menuju Jakarta. Sayang, tidak ada mobil yang mau berhenti. Di suatu tempat mereka berteduh. Saat itu ayahku memecah kebisuan teman-temannya yang sibuk mengusir dingin dari tubuh mereka dengan menggosok-gosokan tangan dan muka. Ayahku berseloroh, “Asyik ya kalau dalam kondisi kita yang seperti ini tiba-tiba ada seorang bapak menegur kita, ‘Dik, mau kemana?’ Kita jawab, ‘Ke Jakarta, Pak.’ Bapak itu berkata, ‘Tidak ada bis, Dik. Sudah, nginep di villa Bapak saja. Besok baru pulang ke Jakartanya.’”
Subhanallah! Belum lama ayahku berseloroh, tiba-tiba muncul seorang pemuda, lebih tua beberapa tahun dari mereka bertiga. Pemuda itu bertanya, “Kalian mau ke mana?” Ayahku menjawab, “Pulang ke Jakarta.” Pemuda itu berkata, “Tidak ada bis. Mendingan kalian menginap saja di villa kakakku. Besok pagi baru pulang ke Jakarta.”
Maha Suci Allah! Dia begitu dekat dengan hamba-hambanya yang berjuang di jalannya, meskipun perjuangan itu hanya melakukan survey untuk sebuah acara tafakur alam. Ayahku dan kedua temannya malam itu bermalam di villa. Mereka mendapat baju salinan, makanan malam, dan selimut yang hangat. Subhanallah, Maha Suci Allah! Pertolongan itu pun mereka dapat bukan dari tangan orang muslim, tapi lewat seorang pemuda nasrani. Begitulah pertolongan Allah, bisa datang dari arah yang tidak disangka-sangka. Subhanallah, subhanallah, subhanallah! (haidar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan Pesan!